FeaturedPC

[EKSKLUSIF] Match-3 Roguelike, Custom Engine, Inspirasi, dan Tantangan di Balik Match Morphosis

Match Morphosis akan rilis di PC (Steam) pada Q4 2026.

Menjadi solo developer memang tidak mudah bagi banyak orang, terlebih lagi bagi mereka yang sudah berpengalaman dalam seluk beluk industri game yang dinamis.

Gamedaim mendapatkan kesempatan spesial untuk mewawancarai Ernes Budiman, seorang solo developer asal Salatiga, Jawa Tengah, yang akan meluncurkan game pertamanya, Match Morphosis, dengan menggunakan custom engine, alih-alih memilih Unity, Godot, atau game engine populer lainnya.

Dalam wawancara kami, Ernes membahas kiprahnya di industri game, tantangan mencampur format Match-3 dan Roguelike, potensi versi mobile, pendapatnya mengenai Unity dan Godot, alasan menggunakan custom engine, hingga bagaimana game miliknya terinspirasi oleh Slay the Spire.

Match Morphosis akan rilis di PC (Steam) pada Q4 2026.

*Wawancara ini telah diedit untuk kejelasan pembaca.

[eksklusif] match 3 roguelike, custom engine, inspirasi, dan tantangan di balik match morphosis
Sumber: Stochastic Walk

Boleh ceritakan kiprah mas Ernes di industri game seperti apa? Saya tadi sempat melihat LinkedIn milik mas, tapi akan lebih nyaman jika dijelaskan langsung oleh mas bagaimana prosesnya.

Ernes Budiman (Ernes): Saya dahulu memulai di industri game kurang lebih pada tahun 2011, saat saya belum lulus kuliah. Setelah itu, saya masuk ke Gameloft sebagai programmer mobile dan porting kurang lebih sekitar 2,5 tahun.

Habis itu, saya pulang ke Jakarta untuk bergabung dengan sebuah studio bernama Batavian Studio. Kurang lebih dua tahun mengerjakan game PC, lalu studionya ditutup. Dari situ saya balik lagi ke Alegrium, mengerjakan game mobile kurang lebih delapan tahun.

Di Alegrium cukup lumayan lama, sempat menjadi lead studio programmer kurang lebih enam tahun. Memasuki tahun 2024, saya pindah bekerja secara remote untuk perusahaan luar sambil mengerjakan Match Morphosis hingga sekarang.

Kurang lebih gambaran besarnya seperti itu, tapi hampir 10 tahun saya lebih mengerjakan game mobile.

[Match Morphosis] di mobile kemungkinan cocok, mengingat waktu saya pamerkan game ini di IGDX 2025, banyak sekali yang meminta versi mobile. Cuma jika itu berupa mobile free-to-play, bakal banyak yang akan diubah dari desain game tersebut.

Ernes Budiman, Founder OF Stockhastic Walk

Match Morphosis dimulai sebagai side project sejak Februari kemarin, apakah ide game ini sudah ada sejak lama atau idenya baru muncul secara tiba-tiba karena terinspirasi sesuatu?

Ernes: Saya mengerjakannya sejak Februari lalu, lebih tepatnya sedang mencari format Match-3. Saya mencari bungkusan yang cocok apabila format itu digabungkan dengan format Roguelike seperti apa. Boleh dibilang iterasi pertamanya muncul sejak saat itu.

Inspirasinya mungkin karena saya sudah lama mengerjakan game mobile, sering memainkan banyak game mobile, lalu di suatu waktu saya lagi memainkan Royal Match dan berpikir, ‘Sepertinya game-game Match-3 yang ada di Steam atau PC itu eksekusinya terlalu sederhana.’ Saya belum menemukan game yang cocok dengan bungkusan ide saya.

Inspirasinya juga mungkin dari mencoba Peglin, Dungeon Clawler, dan Luck Be a Landlord ya, lalu mekanik lainnya dicampur dengan game Roguelike seperti Slay the Spire kok asik…

Tadi saya sempat quick search di Google terkait game-game Match-3 di Steam dan memang terlihat sederhana eksekusinya. Mengingat latar mas yang dominan sebagai pengembang game mobile, apakah perpindahan fokus mas untuk meluncurkan Match Morphosis di PC terjadi karena tambahan mekanik Roguelike tersebut atau formatnya tidak cocok jika dijadikan game mobile?

Ernes: Lebih ke arah sudah lumayan lama di industri game mobile sih, terutama game-game free-to-play sudah menyedot jiwa solo developer saya terlalu lama, jadi saya ingin mencoba sesuatu yang baru.

Desain game free-to-play dan premium itu jauh berbeda. Game-game Match-3 di mobile jauh berbeda eksekusinya dengan yang ada di Steam, walaupun di Steam juga format ini kebanyakan digunakan di game-game hentai.

[Match Morphosis] di mobile kemungkinan cocok, mengingat waktu saya pamerkan game ini di IGDX 2025, banyak sekali yang meminta versi mobile. Cuma jika itu berupa mobile free-to-play, bakal banyak yang akan diubah dari desain game tersebut.

Menggunakan Unity itu ibarat berangkat menaiki sebuah gunung, tetapi membawa truk kontainer. Perjalanan dari rumah ke kaki gunung mungkin cepat, tapi begitu kita mau sampai puncak, kita tidak bisa gesit karena bawaannya terlalu banyak.

Ernes Budiman, Founder OF Stockhastic Walk
[eksklusif] match-3 roguelike, custom engine, inspirasi, dan tantangan di balik match morphosis
Sumber: Stochastic Walk

Desain game ini juga terpengaruh karena custom engine yang dibuat mas?

Ernes: Tidak mas. Sejauh ini saya belum menemukan batas teknis di Match Morphosis karena keputusan saya menggunakan custom engine.

Berarti perombakannya saja memang memakan waktu lebih lama jika dibuat versi mobile, mengingat mas saat ini menjadi solo developer.

Ernes: Iya, game-nya bakal menjadi sesuatu yang berbeda kalau ditargetkan ke mobile.

Tapi saya tertarik dengan topik custom engine yang disebut mas, kenapa mas memilih membuat custom engine daripada menggunakan engine yang sudah populer di pasar seperti Unity, Godot, dan sejenisnya?

Ernes: Ada beberapa hal sih untuk menjawab pertanyaan ini. Pertama, Unity dari tahun ke tahun sebagai game engine semakin tidak bisa diandalkan, terutama dari performance engine-nya sendiri dari tahun ke tahun yang semakin lambat, dan inisiatif-inisiatif mereka yang tidak ada ujungnya, hingga kasus terakhir itu yang berupa Runtime Fee.

Rasanya jika saya mau investasi ke teknologi yang tiba-tiba suatu hari menjebloskan penggunanya ke arah yang salah terlalu berisiko. Tidak ada yang tahu jika tiba-tiba tahun depan lisensi Unity akan naik dua kali lipat harganya?

Terkait Godot, ada beberapa hal yang secara arsitektur, yang menurut saya, kurang cocok di bagian node communication-nya, memaksa game-nya harus dengan arsitektur tertentu.

Di sisi lain, Unreal terlalu ‘berat’ untuk Match Morphosis, rasanya seperti melindas semut dengan traktor.

Kedua, menggunakan custom engine, yang menurut saya, bisa lebih ringkas. We only built what the game needs. Kita tidak perlu semua fitur bawaan yang ada di Unity.

Menggunakan Unity itu ibarat berangkat menaiki sebuah gunung, tetapi membawa truk kontainer. Perjalanan dari rumah ke kaki gunung mungkin cepat, tapi begitu kita mau sampai puncak, kita tidak bisa gesit karena bawaannya terlalu banyak.

Menurut saya, ketika menggunakan Unity, semakin lama proyek berjalan dan berkembang, semakin susah buat tetap gesit, seperti import time terlalu lama, scene loading-nya lambat, dan sebagainya. Saya inginnya proses iterasi terus bisa cepat dari awal hingga akhir.

Ketiga, memaksai custom engine ‘maksa’ saya untuk berpikir dua kali untuk menambahkan fitur. Jika menggunakan engine yang sudah ada mungkin pertanyaannya saat mau mengimplementasikn adalah, ‘Bagaimana cara implementasinya di game engine tersebut ya?’

Sedangkan di kasus custom engine, apabila fiturnya belum ada, pertanyaan yang akan muncul adalah, ‘Apakah fitur ini akan membuat game saya lebih baik secara keseluruhan?’ Kalau itu terjawab, kita tidak perlu mengeluarkan sumber daya yang mungkin tidak meningkatkan kualitas game-nya.

Tentunya menggunakan tool yang paling nyaman digunakan sesuai kapabilitas studio dan individu masing masing. Tujuannya tentu membuat game, bukan game engine.

Ernes Budiman, Founder OF Stockhastic Walk
[eksklusif] match 3 roguelike, custom engine, inspirasi, dan tantangan di balik match morphosis
Sumber: Stochastic Walk

Dengan semua alasan tersebut, apakah mas merekomendasikan pengembang game indie untuk mencoba membuat custom engine mereka sendiri? Mengingat sejauh ini, saya jarang mendengar ada studio game indie dari Indonesia yang menggunakan custom engine, let alone a solo developer.

Ernes: Pertanyaan sulit… Tentunya menggunakan tool yang paling nyaman digunakan sesuai kapabilitas studio dan individu masing masing. Tujuannya tentu membuat game, bukan game engine.

Dalam kasus saya, kebetulan saya membuat Match Morphosis sembari membuat hal-hal yang dibutuhkan custom engine-nya. Custom engine saya sekarang bahkan tidak mendkukung 3D atau loading 3D object, karena game saya tidak membutuhkannya.

Kembali ke Match Morphosis, bagaimana proses implementasi Roguelike dengan Match-3? Apakah ada tantangan tertentu yang ditemukan saat mencoba mencampuradukkan dua genre/format yang memiliki spektrum jauh berbeda tersebut? Dan bagaimana cara mas membuat balancing dari banyaknya artifacts dan perks yang ditawarkan di game nanti?

Ernes: Referensi utama Match Morphosis itu Roguelike dari Slay the Spire. jadi status sinergi antar kartunya sangat kuat. Di game ini, sinerginya lebih cair antar pieces-perks-artifacts.

Sinergi pieces-pieces, menurut saya, masih sedikit lemah dan harus ditingkatkan lagi. Ini karena gameplay Match-3 itu sendiri yg condong ke arah combo match, berbeda dengan Slay the Spire yg setiap aksinya bisa kita atur.

Balancing tentunya datang dari playtest, tapi tujuan saya bukan membuat game yang balance, karena balanced game, in my opinion, is boring. Saat pemain memilih karakter tertentu, saya harus bisa memenuhi fantasi karakter yang dibuat pemain dari build-nya. Ini bisa didapat dari perks dan artifacts per karakternya yg mengisyaratkan ke build tertentu.

Jadi yang menarik minat pemain adalah ‘bisa tidak ya saya bikin build x?’ atau ‘kira-kira kalau ditambah artifacts y, karakter saya bisa menjadi seperti ini tidak ya?’. Harapannya adalah build yang dimaksud tidak mudah didapatkan, jadi pemain akan terus penasaran dan memainkannya berkali-kali.

If you’re sure you want to make a game, then you’ll find a way; if not, then you’ll find excuses.

Ernes Budiman, Founder OF Stockhastic Walk
[eksklusif] match 3 roguelike, custom engine, inspirasi, dan tantangan di balik match morphosis
Sumber: Stochastic Walk

Sejauh dari umpan balik playtest dan pemain yang mencoba di IGDX 2025 (selain versi mobile tentunya), apakah ada saran atau kritik yang memang tampaknya bisa ditambahkan ke Match Morphosis? Dan sejauh dari pengamatan mas, apakah ada pemain yang memiliki waktu terlama saat memainkan game ini?

Ernes: Umpan balik di IGDX 2025 sebagian besar terkait onboarding dan saya sudah mencoba memperbaikinya di early preview buat media. Saya bisa share build-nya kalau mas mau mencoba.

Di demo IGDX 2025 kemarin, hanya satu act saja yang dipamerkan dan durasinya kurang lebih sekitar 20 menit. Pemain yg kecanduan dengan game-nya bisa mencoba sampai beberapa kali untuk setiap karakter. Dulu ada beberapa pemain yang sempat memainkan game ini hingga tiga jam, tapi bukan di IGDX 2025, padahal isi kontennya waktu itu masih sedikit.

Apakah ada rencana untuk mencari penerbit? Atau mas milih untuk tetap menerbitkan sendiri saja?

Ernes: Saya masih mencari penerbit mas, doakan semoga dapat yang cocok, hehe…

Sebagai penutup, apakah ada pesan singkat untuk mereka yang masih ragu menjadi solo developer dan membuat game pertama mereka?

Ernes: If you’re sure you want to make a game, then you’ll find a way; if not, then you’ll find excuses.

Setelah menyelesaikan pendidikan sebagai Analis Kimia, Fransiskus memutuskan untuk mengejar impiannya di bidang jurnalistik dan telah aktif meliput industri game sejak tahun 2020. Saat ini, ia tengah mendalami studi di bidang Hubungan Masyarakat (Humas).…
Leave Comment

Related Posts

Load More Posts Loading...No more posts.